Entri Populer

Kamis, 04 September 2014

Time To Declare



Pagi ini, tidak bedanya seperti hari-hari kemarin. Awan terangkai dengan warna birunya yang sempurna, dan kicauan burung yang saling bersautan bagai musik alam pengiring hari. Bangunan sekolah yang di dominasi oleh warna coklat itu masih sepi. Disalah satu ruang kelas, baru terdapat seorang siswi yang sibuk membaca buku catatannya. Tanpa mempedulikan suasana sepi di sekitarnya, ia terus membaca. Entah apa sedng yang dibacanya.

“Hai. Pagi.” seorang anak laki-laki bertubuh tinggi berwajah oriental dengan mata sipit menyapanya. Gadis itu hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku di hadapannya.
“Baca apa?”
“Biologi.” tanpa senyum, terkesan dingin, jutek dan singkat.
“Oh..rajin ya lo, pantes selalu ranking satu hehehe. Ya udah deh gue mau ke lapangan bola dulu, semangat ya belajarnya.” lagi-lagi laki-laki itu selalu ramah seperti biasanya. Dia tersenyum ke arah gadis manis berkacamata itu, lalu kemudian berlalu keluar kelas, meninggalkan gadis itu, sendiri dalam dunianya.
Tepat saat laki-laki itu beranjak pergi gadis itu mengangkat wajahnya, menatap teman sekelasnya itu sekilas. Senyum tipispun terpulas di wajahnya yang manis, lalu ia mulai menekuni bukunya kembali.

***

Suasana riuh rendah selalu tercipta saat anak-anak futsal berlatih. Seperti yang terjadi siang ini. Penonton yang rata-rata di dominasi oleh kaum hawa sibuk meneriakkan semangat mereka untuk duo futsal yang memang menjadi idola mereka.

“Kesana yuk, gue mau nonton Rio.”
“Enggak ah Fy, rame.” Ify memberikan pandangan memohon kepada temannya yang satu ini.
“Ayolah Nov..” Nova yang masih saja sembunyi di balik bukunya menatap Ify sebentar dari balik kacamatanya, kemudian menggeleng. Ify pasrah. Ia memang tidak pernah berhasil untuk membujuk Nova beralih sebentar dari dunianya itu.
“Ya udah gue kesana ya, mau nyusulin Rio hehehe..” Nova hanya mengangguk. Ify melambaikan tangannya ke arah Nova dan langsung berjalan cepat ke arah lapangan. Sementara nova sendiri memilih untuk duduk di bangku taman di bawah pohon. lagi-lagi asik dengan bacaannya.
“Yo, Ify tuh..” Rio langsung menoleh, dia melihat Ify sedang tersenyum ke arahnya. Rio membalas senyuman Ify dan membuat para pendukung Rio lainnya hanya bisa berharap senyuman itu buat mereka.
“Eh udah ayo main lagi” Rio nyengir, dia kemudian berlari lagi.
“Beruntung banget gue bisa dapetin dia” Alvin hanya terkekeh mendengar ucapan Rio.
“Priiiiiittt.. latihan cukup !” semua pemain langsung berhenti dan menghampiri pelatih mereka. Setelah mendengarkan intruksi-intruksi dari pelatih, para pemain mulai meninggalkan lapangan. Begitupun para penonton. Hanya tinggal Alvin, Rio dan Ify saja.
“Eh Vin gue cabut duluan ya” ujar Rio sambil mengerling ke arah Ify  yang sejak tadi setia menunggunya.
“Sip, iya gih sana udah sore juga, kasian Ify udah nungguin lo dari tadi” jawab Alvin sambil senyum ke arah Ify.
“Duluan ya Vin” timpal Ify. Rio menggandeng tangan Ify, dan mengajaknya keluar lapangan.

Sementara itu, bukannya beristirahat Alvin malah sibuk bermain bola sendiri.
“Eh Yo aku pamit ke Nova dulu deh, enggak enak ninggalin dia sendirian”
“Lihat deh Fy, si Nova masih asik ngedate tuh sama bukunya, masa mau kamu ganggu” ucap Rio sambil menunjuk ke arah Nova yang masih belum beranjak dari tempatnya sejak tadi.
“Ih kamu nih, sama temen sendiri juga”
“Haha.. udah, pasti si Nova juga tahu kok kalo kamu pulang bareng aku.” Rio mengacak-acak poni Ify lembut sambil tersenyum.
Ify melihat ke arah Nova yang memang masih asik dengan bukunya, kemudian melihat Rio yang sedang menyodorkan helm ke arahnya.
“Udah deh Ify sayang, sini aku pakein” ujar Rio sambil memakaikan helm ke kepala ify. Ify hanya tersenyum melihat ulah pacarnya itu dan langsung naik ke atas motor Rio.

Tepat setelah membaca halaman terakhir, Nova langsung menutup buku yang tebalnya bisa membuat orang pingsan sekali pukul itu dan melirik jam tangan hitam polos di tangannya. Keasikkan membaca lagi-lagi membuatnya lupa waktu. Sekolah telah benar-benar sepi sekarang. Nova melirik ke arah lapangan futsal yang nampak kosong. Dengan memeluk buku-bukunya dan menyandang tasnya, ia mulai berjalan menuju gerbang sekolah.
“Argh..”
Nova menghentikan langkahnya. Suasana yang begitu senyap, membuat sensitivitas pendengarannya semakin peka. Dia melihat ke kanan kirinya, dan tidak nampak satupun aktivitas yang terjadi.
“Perasaan gue doang kali ya” gumam Nova pelan, kemudian memutuskan untuk berjalan kembali.
“Argh..” baru satu langkah Nova berjalan, suara yang terdengar seperti erangan itu mampir lagi ke telinganya. Nova yakin kali ini, bahwa suara itu nyata bukan hanya perasaannya saja.

Nova berjalan mendekat ke arah lapangan futsal, karena ia menyakini suara itu muncul dari sana.
Tidak ada satupun rasa takut yang merasukinya, yang ada ia malah penasaran dengan suara itu. Nova menajamkan pendengarannya, layaknya seorang agen mata-mata. Nova mengendap-ngendap di dinding menuju ruang ganti pemain.
“Hah...hah...hah..” kali ini, suara rintihan itu berganti dengan suara napas yang tidak beraturan. Nova semakin yakin, suara itu berasal dari dalam ruang ganti pemain. Sepelan mungkin, Nova masuk ke dalam ruangan tersebut. Alangkah terkejutnya dia melihat pemandangan di depannya.
“Alvin?”
“Hah..o..obat..gue..to...long..” Nova meletakkan buku-buku di pegangannya secara asal. Kemudian ia langsung mulai mengobrak-abrik tas Alvin, mencari obat yang Alvin maksud. Nova langsung mengangsurkan sebutir pil dan sebotol air mineral untuk Alvin.
“Thanks..” ujar Alvin lemah sambil berusaha tersenyum. Ia mencoba bersandar di dinding. Wajahnya yang putih nampak memerah, keringat membasahi tubuhnya. Napasnya masih terdengar terengah-engah.
Sementara Nova masih bersimpuh di samping Alvin. Tangannya memegang botol obat yang tadi ia temukan dalam tas Alvin. Dalam diam ia mengamati obat tersebut. Nova mengenal betul obat ini. Obat yang selalu ada di ruang kerja kakaknya.
“Elo?” tanya Nova dengan nada tak percaya.
“Ya. Dan tolong jangan bilang ini ke siapapun.” Alvin tersenyum lagi ke arah Nova. Nova memandangnya bingung. Ia tampak santai. Sangat kontras dengan keadaannya beberapa menit yang lalu.
“Bukan urusan gue juga sih.” jawab Nova cuek.
“Gue anterin pulang yuk.” tawar Alvin sambil membereskan tasnya yang isinya baru saja Nova keluarkan semua.
“Enggak usah gue bisa sendiri” alvin menatap nova sekilas.
“Tenang aja, gue masih bisa bawa motor gue kok. Mau ya, sebagai ucapan terimakasih dari gue nih” nova menimbang-nimbang sebentar, ia melirik jam tangannya, sudah pukul 5 sore. Nova mengangguk ke arah alvin, kemudian ia berdiri, tapi tiba-tiba tangannya di tarik oleh alvin.
“Apa lagi ?” tanya nova, matanya dan mata alvin saling bertemu.
“Itu obat gue, tanpa itu gue enggak bisa hidup nov..hehe..” nova melihat botol potih yang masih ada dalam genggaman tangannya itu. Dengan sedikit senyum, ia menyerahkannya ke alvin.
“Lo tahu, senyum lo akan kelihatan lebih tulus kalo ditambahin dikit lagi.” bisik alvin sambil lagi-lagi tersenyum ke arahnya. Nova hanya diam tanpa ekspresi. Meski kata-kata tadi terdengar lembut di telinganya.

***

Kamar itu begitu hening seperti biasa. Hanya ada sedikit suara. Dari pertemuan antara pulpen dan kertas yang sedang beradu sejak tadi. Nova diam sejenak. Dia meletakkan pulpennya. Entah kenapa malam ini, ia jadi kepikiran soal Alvin tadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika temannya yang begitu aktif dan ramah itu menyimpan sebuah rahasia besar dalam hidupnya.

Dagunya ia tumpukkan di kedua tangannya yang saling bertindihan di atas meja belajarnya. Nova telah mengenal Alvin sejak mereka sama-sama sekelas waktu kelas sepuluh dan terus berlanjut hingga sekarang. Di matanya Alvin adalah sosok yang ramah dan murah senyum. Penampilannya yang selalu rapi di tunjang dengan wajahnya yang tampan membuat ia di kagumi oleh hampir seluruh anak perempuan di sekolahnya. Otaknya cerdas dan menjadi pesaing utamanya dalam memperebutkan ranking pertama. Belum lagi prestasinya dalam bidang olahraga. Bersama partner sekaligus sahabatnya. Rio, ia selalu berhasil memimpin rekan-rekan setimnya untuknya menjuarai berbagai lomba futsal yang mereka ikuti.
“Anak seaktif dan seramah dia ternyata....”
“Aduh Nova lo kenapa jadi mikirin dia sih?! Lupain lupain ayo sekarang belajar lagi!” Nova memukul-mukul kepalanya sendiri pelan. Kemudian melanjutkan pekerjaannya yang tadi terhenti.

***

Dengan langkah gontai, Alvin berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Seperti biasanya, ia tetap tersenyum ramah  kepada siapapun yang ia jumpai. Entah itu dokter, suster atau pasien. Bahkan tak peduli ia kenal ataupun tidak. Senyum itu tetap menghiasi wajahnya. Meski hatinya sedang kalut luar biasa.

Langkahnya terhenti di depan taman rumah sakit. Matanya menatap lurus ke arah sosok yang dikenalnya. Sambil tersenyum, Alvin menghampiri orang itu yang nampak sedang serius dengan buku di tangannya.
“Hai Nov, gue duduk disini ya.” sapa Alvin riang. Nova mengangkat wajahnya, kemudian ia hanya mengangguk.
“Ngapain disini?” tanya Alvin basa-basi. Tapi tidak ada satupun respon dari Nova. Alvin hanya tersenyum. Ia mengamati Nova  yang dimana saja selalu setia bersama buku-bukunya.
“Gue kagum deh sama lo. Setiap hari selalu baca buku enggak pernah bosen. Good job!” celoteh Alvin, meski ia tahu Nova tidak akan menggubrisnya sama sekali.
Karena itulah Nova, sosok anak jenius yang memakai kaca mata dan selalu membawa buku kemanapun ia pergi. Pendiam dan jutek. Pembawaannya cenderung tertutup. Jarang tersenyum apalagi tertawa.
“Maaf Nov, udah nunggu lama ya? lho Alvin?”
“Dokter Rizky?”
“Kamu kenal sama Nova?”
“Iya, saya temen sekelasnya dok.”
“Saya kakaknya Nova.” Alvin hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ya udah ayo katanya mau makan siang.” ujar Nova tiba-tiba. Sambil berdiri dan berjalan.
“Kamu udah makan Vin? kalo belum ayo ikut kita aja.” tawar dokter Rizky.
“Eh enggak usah dok makasih. Saya... ehm..itu..” Alvin kelabakan sendiri nyari alasan apa.
“Udah ayo, saya tahu kamu enggak punya alasan buat nolak.” Alvin cuma nyengir. Kemudian ia bersama Rizky. Menyusul Nova yang telah berjalan cepat menuju parkiran.

“Udah lama Vin kenal Nova?”
“Iya dok, kita sekelas dari kelas sepuluh dulu.” jelas Alvin. Sementara Nova memilih diam menikmati makanannya.
“Oh, Nova jarang cerita sih, saya malah cuma kenal temennya yang namanya Ify.”
“Iya. Nova memang sahabatan sama Ify, kebetulan Ify itu pacarnya sahabat saya. Hehehe.”
“Toilet.” celetuk Nova sambil berlalu begitu saja.
“Maaf ya Vin, Nova memang seperti itu, tertutup.”
“Enggak apa-apa dok, saya tahu kok. Saya enggak nyangka lho, dokter sama nova kakak adek, beda sih.” dokter Rizky hanya tertawa mendengar kata-kata Alvin.
“Saya sama dia beda sepuluh tahun. Itu sebabnya walaupun saya sayang banget sama dia, susah buat ngeleburin jarak yang ada, apalagi semenjak...”
“Semenjak apa dok?” Alvin penasaran.
“Kedua orang tua kami meninggal.” Alvin tersentak.
“Maaf dok, saya enggak tahu, maaf.” ujar Alvin tulus, dokter Rizky hanya tersenyum.

“No problem. Dulu nova gadis yang riang bahkan cenderung manja, tapi semenjak saat itu dia tenggelam di balik bukunya. Saya aja sampai bingung sendiri mau ngedeketin dia dari mana. Seandainya ada orang yang bisa merubah dia lagi kaya dulu. Saya seneng banget deh.” entah kenapa, kalimat terakhir yang dokter Rizky katakan. Begitu merasuk kuat di dalam hati Alvin. Kata-kata itu bagai memanggilnya.

***

Belum pernah terjadi sebelumnya. Hari ini seorang Nova, mau menemani Ify untuk menyaksikan latihan futsal. Meski di tangannya tetap ada buku. Tapi, diam-diam tanpa sepengetahuan Ify Nova terus mencuri pandang ke arah Alvin. Satu hal yang membuatnya bingung sendiri.
‘Lo ngeliatin dia karena cuma lo yang tahu keadaannya dia. Cuma karena itu nova.’ batinnya seolah-olah berusaha menenangkan hatinya yang sibuk bertanya-tanya.

Nova bisa melihat Alvin yang terus berlari. Tanpa beban. Bebas, dan penuh keyakinan. Sempat membuat Nova sangsi. Apakah keadaan Alvin yang ia ketahui hanya kedok belaka? Tapi, lantas pikiran itu ia buang jauh-jauh. Setiap habis melakukan tendangan atau assist, Alvin akan menoleh ke arah penggemarnya dan tersenyum.  Yang tentu saja langsung membuat kehebohan yang tak terkira di lapangan.

“Lo ngeliatin apa sih Nov?” tanya Ify curiga.
“Buku.” jawab Nova asal. Sambil kembali menekuni bukunya. Ify memandang Nova penuh selidik. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar adanya, tadi ia merasa Nova sedang memperhatikan Alvin. Tidak mau ambil pusing, Ify kembali memfokuskan perhatiannya untuk Rio.

***

Entahlah apa yang membuat mereka bisa duduk berdua sekarang. Alasan pertama yang paling logis tentu saja, karena mereka berdua satu kelompok dalam pembuatan karya ilmiah. Tapi, alasan-alasan lainnya cukup membuat Nova tidak mengerti. Karena, ini pertama kalinya ia menyetujui untuk membuat tugas kelompok bersama-sama. Sebelumnya, Nova selalu mengerjakan tugas itu sendiri. Meski judulnya tugas kelompok.

Dan sekarang mereka duduk di halaman belakang rumah Nova, hening. Di awal Alvin sempat mencoba menyairkan suasana.  Tapi, karena Nova yang terus sibuk dengan laptop dan buku-bukunya. Kini Alvin juga ikut tenggelam mengerjakan bagiannya. Dan lagi-lagi entah mengapa, Nova merasa sedikit menyesal dengan sikapnya tadi.

“Beep..beep..beep..” Nova celingukan mencari asal suara yang membuat Alvin tersenyum dan menunjukkan jam tangannya yang menyala. Alvin meraih tasnya dan mengeluarkan botol obatnya, lalu ia langsung meminum obatnya tersebut.
“Sori kalo bikin kaget, gue suka lupa kalo enggak kaya gitu.” ujar Alvin.
“Gue malah mikir elo lupa kalo lo lagi sakit.” Alvin terkekeh mendengar kata-kata Nova.
“Kenapa?”
“Ya, elo selalu bersemangat setiap hari, dan saat main futsal, itu jelas-jelas ngebahayain kondisi lo.”

“Lo mau tahu kenapa?” Nova hanya berekspresi datar tanpa respon.
“Karena gue tahu, hidup gue mungkin akan jauh lebih singkat dari temen-temen gue, jadi daripada gue ngeratapin nasib ya mending gue nikmatin akhir-akhir hidup gue.” Alvin melanjutkan menjawab pertanyaannya sendiri. Meski Nova tidak memintanya. Nova terdiam sesaat mendengar kata-kata alvin, entah kenapa kata-kata itu seperti menyentil batinnya.

“Oh ya lo masih nyimpen rahasia ini sendiri kan?” tanya Alvin lagi. Nova hanya mengangguk.
“Good job! thanks ya Nov.” Nova bisa melihat jelas ketulusan terpancar dari kata-kata Alvin. Ia mengalihkan matanya ke Alvin. Alvin yang sadar sedang lagi dipehatikan juga melihat ke arah Nova. Sehingga mereka saling bertatap-tatapan sekarang.
“Eh sori.” ucap Alvin langsung. Nova hanya menundukkan kepalanya. Ia terbawa suasana barusan, suasana nyaman dan hangat dari mata Alvin.
“Enggak apa-apa.” sahut Nova sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Lo minus nov?” Nova menggeleng.
“Plus?” lagi-lagi Nova menggeleng.
“Oh silindris ya?” tebak Alvin mantap.
“Enggak juga kok.” Alvin memandang ke arah Nova kaget.
“Terus ngapain pake kacamata kalo gitu?”
“Pengen aja.”

“Haha. gue suka gaya lo.” Alvin malah memuji Nova sambil memberi bonus senyuman. Nova lagi-lagi dibuat spechless. Dia udah mikir kalo Alvin akan mentertawakan jawabannya yang asal tapi asli tersebut. Alvin memang berbeda.
“Gue pengen bisa ramah kaya lo.” ujar Nova tiba-tiba. Ia sendiri kaget, kata-kata itu meluncur tanpa kendali dari bibirnya. Alvin menghadap ke arahnya, sambil tersenyum.
“Gampang nov. Lo tinggal senyum setulus mungkin dari dalem sini.” Alvin menunjuk dadanya.
“Gue lupa caranya senyum sejak...”
“Iya gue tahu. Kakak lo udah sempet ceritain itu.” potong Alvin cepat.
“Gue kangen mereka.” Nova menunduk sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Setitik air mata menetes membasahi wajahnya. Dengan tangannya, Alvin menyentuh dagu Nova, membuatnya terangkat.

Pelan-pelan Alvin melepas kacamata Nova dan dengan ujung-ujung jempolnya, ia menghapus air mata Nova. Mata bening yang selalu tersembunyi di balik kacamata itu benar-benar terlihat sekarang. Membuat Alvin terpana sesaat.
“Nov. Sekarang coba deh lo bayangin orang tua lo lagi ngelihatin elo sambil tersenyum bahagia.” Nova memejamkan kedua matanya mencoba membayangkan apa yang Alvin katakan.
“Nah sekarang, buka mata lo dan balas senyuman mereka dengan senyum yang paling cantik yang lo punya.” perlahan Nova membuka kedua matanya, kedua sudut bibirnya ia tarik membentuk sebuah senyuman, sesuatu yang tidak pernah lagi ia lakukan akhir-akhir ini.

“Lo tahu, mata bening lo lebih indah tanpa hiasan bingkai kaca mata di sekelilingnya, dan senyuman lo bakal bikin siapapun terpesona melihatnya.” ujar Alvin yang membuat Nova tersipu. Tapi mungkin Alvin benar. Karena saat ini, saat senyumnya hadir hatinyapun merasa bahagia.
“Jadi mulai sekarang, lo harus sering-sering senyum ya.” Alvin mengacak-acak rambut Nova. Nova hanya diam, tapi kali ini diamnya berbeda. Ada senyum manis di bibirnya yang menyatakan segalanya.

***

Sudah lama mereka tidak pernah berdua lagi seperti ini. Tepatnya sejak Rio jadian dengan Ify. Tapi Alvin maklum akan hal itu. Toh akhir-akhir ini, dia juga sering menghabiskan waktunya bersama Nova.
“Gimana lo sama Ify ?”
“Gitu deh, tambah hari tambah sayang aja gue sama dia” Alvin hanya terkekeh mendengar itu. Kemudian ia mengambil majalah Rio yang ada di atas kasur, dan mulai membacanya.
“Lo sendiri gimana sama Nova?” tanya Rio tiba-tiba
“Gimana apanya?”
“Ya hubungannyalah, lo lagi PDKT sama dia kan?” tanya Rio yakin.
“Sok tahu lo!”
“Lho emang enggak? Eh tapi gue suka deh sama penampilannya akhir-akhir ini, jadi ramah gitu, terus kaca matanya juga di lepas, jadi kesan cupunya hilang deh.”
“Plak!” Alvin mengulung majalah Rio dan memukulkannya di kepala Rio.
“Sakit woi! Kenapa lo? Jealous?” goda Rio sambil menoel-noel dagu Alvin, yang membuat Alvin bergidik.

“Inget Ify woi kalo mau muji cewek lain.”
“Ify sih tetap selalu akan di hati gue.”
“Gombal!” timpal Alvin.
“Udah-udah. Balik nih ke Nova, lo beneran enggak suka sama dia?”
“Lha emang tadi bilang enggak suka?”
“Jadi lo suka kan sama dia?”
“Enggak tahu.” Rio bener-bener di buat gondok sama jawaban Alvin yang muter-muter. Tapi, apalah daya. Dia tahu, Alvin memang enggak suka di paksa. Kalo dia mau cerita ya pasti bakal cerita sendiri.
‘seandainya gue punya waktu buat suka sama dia Yo’ ratap Alvin dalam hati kecilnya.

“Eh vin.”
“Apa lagi?”
“Muka lo tambah pucet akhir-akhir ini, lo sakit?”
“Enggak.”
“Yakin?”
“Iyalah, kenapa sih?”
“Enggak tahu, feeling gue beda aja gitu.” ujar Rio sambil cengengesan. Alvin juga ikut tersenyum. Tapi matanya menatap sahabatnya itu lirih.

***

Tangan kanannya terkepal kuat, sampai otot-ototnya ikut menonjol. Sementara tangan kirinya memegang dadanya sesak. Nafasnya tersengal-sengal. Alvin mencoba bangkit, tapi sia-sia. Badannya langsung merosot ke lantai.
“Alvin!” panggil Nova panik. Alvin hanya tersenyum. Nova langsung menjejalkan sebutir pil ke dalam mulut alvin. Tapi tidak seperti biasanya, obat itu sepertinya tidak langsung berkerja. Alvin masih terlihat menahan rasa sakit di tubuhnya.
Nova meraih tangan kanan Alvin yang terasa dingin. Dia menggenggam tangan itu erat. Lagi-lagi di kondisi seperti inipun, Alvin masih saja tersenyum ke arahnya. Yang malah membuat dua butir air mata nova menetes perlahan.

“Ja..ngan..nangis..” ujar Alvin terbata-bata. Ia seperti ingin mengangkat tangannya untuk menghapus air mata Nova. Tapi, sepertinya rasa sakit itu telah merampas seluruh energi Alvin. Nova yang menyadari itu, menghapus air matanya sendiri dan tersenyum ke arah Alvin.
Perlahan, keadaan Alvin mulai membaik. Senyumnya lebih terlihat nyata sekarang. Dia menegakkan duduknya. Nova sendiri merasa lega bukan main, ia tidak mau kehilangan Alvin.

“Elo enggak boleh ikut pertandingan besok vin!”
“Enggak bisa Nov, besok itu pertandingan yang udah gue tunggu-tunggu.”
“Elo sadar dong Vin sama keadaan lo! please.” Nova memohon berharap Alvin akan luluh. Jauh di lubuk hatinya, Alvin tidak tega melihat Nova seperti ini, tapi ini mungkin akan menjadi pertandingan terakhirnya.
“Tolong lo yang ngertiin posisi gue Nov.”
“Alvin! gue cuma minta lo enggak main besok. Apa sih pentingnya futsal? Hah!”
“Lo kenapa sih nov? Kenapa lo jadi marah-marah sama gue gini? lagipula lo siapa marah-marah sama gu!”

Nova diam. Belum pernah ia melihat Alvin seperti ini. sadarkah Alvin dengan semua kata yang ia ucapkan tadi, sadarkah itu sangat menyakiti hatinya.
“Maaf, gue emang bukan siapa-siapa, gue cuma orang asing yang peduli sama lo karena gue sayang sama lo!” nova langsung berlari meninggalkan Alvin sendiri. Alvin cukup kaget dengan kata-kata Nova, dia memandangi punggung Nova.
‘mungkin emang lebih baik kita enggak pernah kenal sebelumnya’ bisik Alvin dalam hati.

***

Pantulan kaca jedela memperlihatkan matanya yang sayu dan sembab karena menangis semalaman. Dia melirik ke arah jam dindingnya. Jam 9 pagi. Pertandingan Alvin baru saja di mulai. Ingin rasanya ia datang. Tapi, mengingat kata-kata Alvin kemarin, sepertinya hanya terus menambah luka hatinya.
“Hei Nov, kakak bawa makanan nih.” Nova hanya tersenyum sekilas sambil menghampiri Rizky. Tiba-tiba dia jadi teringat satu hal.

“Kak.”
“Ya?”
“Kemarin Alvin kambuh dan obatnya enggak langsung berkerja kaya biasa.” kakaknya langsung menatap Nova tajam.
“Sekarang dia dimana?”
“Lagi main futsal.”
“Anak itu ya bener-bener deh! ayo nov anterin kakak ke tempatnya sekarang juga.” Rizky langsung mengambil kunci mobilnya. Nova yang bingung hanya bisa pasrah. Dia menyambar jaketnya yang ada di kursi dan langsung ngekorin kakaknya.

Mereka berdua berlarian tergesa-gesa dari parkiran ke arah lapangan. Perasaan tidak enak langsung menyergap nova saat ia melihat ramai-ramai di tengah lapangan. Dia langsung menghampiri kerumunan itu, dan tubuhnya langsung jatuh lemas.
“Gotong anak ini ke mobil saya, dia harus ke rumah sakit sekarang!” Rizky yang berdiri di belakang Nova, langsung memberi komando. meski  bingung, Rio dan teman-temannya tetap mengangkat Alvin menuju mobil Rizky.

***

Dalam pelukan Ify, Nova terus-terusan menangis. Rio mondar-mandir cemas di hadapannya, dia tidak menyangka sahabatnya tega merahasiakan ini darinya. Setelah bertahun-tahun usia pertemanan mereka. Kata-kata Rizky selama dalam perjalanan, serasa bagai kaset otomatis yang terus berputar di otak Nova.
“Kondisi jantungnya benar-benar sudah terlalu lemah. Harapan hidupnya terlalu kecil. Padahal kakak udah selalu ngingetin dia kalo obat itu udah enggak bereaksi apa-apa sama penyakitnya. Berarti itu saatnya dia untuk melupakan segala aktifitasnya. Kakak enggak nyangka dia akan senekat ini, padahal biasanya dia penuh perhitungan.”

“Nov.” panggil Rizky pelan sambil berjongkok di hadapan Nova.
“Gimana kak? gimana operasinya?” tanya Ify langsung.
“Kondisinya udah enggak memungkinkan untuk di operasi, dia pengen ketemu sama kamu.” semua yang ada di situ. Terutama Nova dan Rio. Merasa sangat terguncang mendengar kabar ini. Nova berusaha berdiri. Meski badannya agak limbung, dengan sedikit terseok-seok ia memasuki ruangan dimana Alvin berada.
“Apa orangtuanya masih belum datang?” tanya Rizky ke Rio yang sekarang tampak duduk di samping Ify.
“Belum, orang tuanya tinggal di Bandung, dia tinggal sendiri disini. Jadi, orang tuanya masih dalam perjalanan.” ujar Rio getir. Ify berusaha menenangkan Rio dengan membiarkan Rio bersandar di pundaknya.

Dokter Rizky hanya tersenyum tipis. Dari kaca yang ada di pintu, ia memandangi Nova dan Alvin.
Sambil berusaha terus tersenyum, Nova duduk di samping tempat tidur alvin. Dan seperti biasa, Alvin tetap tersenyum tak menghiraukan selang-selang yang menempel di tubuhnya dan masker oksigen yang menutup hidung dan mulutnya.
Bibir Alvin bergerak-gerak, Nova melepas masker oksigen yang menghalanginya. Tangan Alvin yang nova genggam sedikit bergerak juga.
“Apa?” tanya Nova pelan.
“Ma..kasih..”
“Harusnya gue yang bilang makasih, gue belum sempet bikin lo bahagia, belum bisa ngebales apa yang lo kasih ke gue.”
“Elo..se..lalu..bikin..gue..baha..gia..” dengan nafas tersengal-sengal. Alvin terus saja berbicara. Meski Nova telah meletakkan telunjuknya di bibir merah Alvin yang kali ini tampak putih.
“Udah Vin udah”
“Nov..its a right time..”
“Time to?” Nova berusaha merangkai kata-kata Alvin yang mulai terasa tidak jelas.
“Time..to..declare...I Love..You..”
Air mata langsung membentuk sungai-sungai kecil di pipi Nova, Alvin tersenyum ke arahnya. Senyumnya terlihat damai.
“I love you too.” bisik Nova, tepat ketika tangan Alvin yang ia pegang melemas dan kedua mata Alvin tertutup.

Nova mengecup kening Alvin, kemudian tanpa mempedulikan garis panjang di layar sebelah tempat tidur Alvin. Nova meletakkan kepalanya di atas dada Alvin. Meski sudah tidak ada satupun detak yang terasa disana, tapi Nova tidak peduli.
“Aku mau nyanyi, semoga kamu seneng.” desah Nova pelan

Belum sempat ku membagi kebahagiaanku
Belum sempat ku membuat dia tersenyum
Haruskah ku kehilangan tuk kesekian kali
Tuhan kumohon jangan lakukan itu

Sebab ku sayang dia
Sebab ku kasihi dia
Sebab ku tak rela
Tak selalu bersama
Ku rapuh tanpa dia
Seperti kehilangan harap
Jikalau memang harus ku alami duka
Kuatkan hati ini menerimanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar