Pagi ini, tidak bedanya seperti hari-hari kemarin.
Awan terangkai dengan warna birunya yang sempurna, dan kicauan burung yang
saling bersautan bagai musik alam pengiring hari. Bangunan sekolah yang di
dominasi oleh warna coklat itu masih sepi. Disalah satu ruang kelas, baru
terdapat seorang siswi yang sibuk membaca buku catatannya. Tanpa
mempedulikan suasana sepi di sekitarnya, ia terus membaca. Entah apa sedng
yang dibacanya.
“Hai. Pagi.” seorang anak laki-laki bertubuh tinggi berwajah
oriental dengan mata sipit menyapanya. Gadis itu hanya mengangguk, tanpa
mengalihkan pandangannya dari buku di hadapannya.
“Baca apa?”
“Biologi.” tanpa senyum, terkesan dingin, jutek dan
singkat.
“Oh..rajin ya lo, pantes selalu ranking satu hehehe. Ya
udah deh gue mau ke lapangan bola dulu, semangat ya belajarnya.” lagi-lagi
laki-laki itu selalu ramah seperti biasanya. Dia tersenyum ke arah gadis manis
berkacamata itu, lalu kemudian berlalu keluar kelas, meninggalkan gadis itu,
sendiri dalam dunianya.
Tepat saat laki-laki itu beranjak pergi gadis itu
mengangkat wajahnya, menatap teman sekelasnya itu sekilas. Senyum tipispun
terpulas di wajahnya yang manis, lalu ia mulai menekuni bukunya kembali.
***
Suasana riuh rendah selalu tercipta saat anak-anak
futsal berlatih. Seperti yang terjadi siang ini. Penonton yang rata-rata di
dominasi oleh kaum hawa sibuk meneriakkan semangat mereka untuk duo futsal yang
memang menjadi idola mereka.
“Kesana yuk, gue mau nonton Rio.”
“Enggak ah Fy, rame.” Ify memberikan pandangan memohon
kepada temannya yang satu ini.
“Ayolah Nov..” Nova yang masih saja sembunyi di balik
bukunya menatap Ify sebentar dari balik kacamatanya, kemudian menggeleng. Ify
pasrah. Ia memang tidak pernah berhasil untuk membujuk Nova beralih sebentar
dari dunianya itu.
“Ya udah gue kesana ya, mau nyusulin Rio hehehe..” Nova
hanya mengangguk. Ify melambaikan tangannya ke arah Nova dan langsung berjalan
cepat ke arah lapangan. Sementara nova sendiri memilih untuk duduk di bangku
taman di bawah pohon. lagi-lagi asik dengan bacaannya.
“Yo, Ify tuh..” Rio langsung menoleh, dia melihat Ify
sedang tersenyum ke arahnya. Rio membalas senyuman Ify dan membuat para
pendukung Rio lainnya hanya bisa berharap senyuman itu buat mereka.
“Eh udah ayo main lagi” Rio nyengir, dia kemudian
berlari lagi.
“Beruntung banget gue bisa dapetin dia” Alvin hanya
terkekeh mendengar ucapan Rio.
“Priiiiiittt.. latihan cukup !” semua pemain langsung
berhenti dan menghampiri pelatih mereka. Setelah mendengarkan intruksi-intruksi
dari pelatih, para pemain mulai meninggalkan lapangan. Begitupun para penonton.
Hanya tinggal Alvin, Rio dan Ify saja.
“Eh Vin gue cabut duluan ya” ujar Rio sambil
mengerling ke arah Ify yang sejak tadi setia menunggunya.
“Sip, iya gih sana udah sore juga, kasian Ify udah
nungguin lo dari tadi” jawab Alvin sambil senyum ke arah Ify.
“Duluan ya Vin” timpal Ify. Rio menggandeng tangan Ify,
dan mengajaknya keluar lapangan.
Sementara itu, bukannya beristirahat Alvin malah sibuk
bermain bola sendiri.
“Eh Yo aku pamit ke Nova dulu deh, enggak enak
ninggalin dia sendirian”
“Lihat deh Fy, si Nova masih asik ngedate tuh sama
bukunya, masa mau kamu ganggu” ucap Rio sambil menunjuk ke arah Nova yang masih
belum beranjak dari tempatnya sejak tadi.
“Ih kamu nih, sama temen sendiri juga”
“Haha.. udah, pasti si Nova juga tahu kok kalo kamu
pulang bareng aku.” Rio mengacak-acak poni Ify lembut sambil tersenyum.
Ify melihat ke arah Nova yang memang masih asik dengan
bukunya, kemudian melihat Rio yang sedang menyodorkan helm ke arahnya.
“Udah deh Ify sayang, sini aku pakein” ujar Rio sambil
memakaikan helm ke kepala ify. Ify hanya tersenyum melihat ulah pacarnya itu dan
langsung naik ke atas motor Rio.
Tepat setelah membaca halaman terakhir, Nova langsung
menutup buku yang tebalnya bisa membuat orang pingsan sekali pukul itu dan
melirik jam tangan hitam polos di tangannya. Keasikkan membaca lagi-lagi
membuatnya lupa waktu. Sekolah telah benar-benar sepi sekarang. Nova melirik ke
arah lapangan futsal yang nampak kosong. Dengan memeluk buku-bukunya dan
menyandang tasnya, ia mulai berjalan menuju gerbang sekolah.
“Argh..”
Nova menghentikan langkahnya. Suasana yang begitu
senyap, membuat sensitivitas pendengarannya semakin peka. Dia melihat ke kanan
kirinya, dan tidak nampak satupun aktivitas yang terjadi.
“Perasaan gue doang kali ya” gumam Nova pelan,
kemudian memutuskan untuk berjalan kembali.
“Argh..” baru satu langkah Nova berjalan, suara yang
terdengar seperti erangan itu mampir lagi ke telinganya. Nova yakin kali ini, bahwa
suara itu nyata bukan hanya perasaannya saja.
Nova berjalan mendekat ke arah lapangan futsal, karena
ia menyakini suara itu muncul dari sana.
Tidak ada satupun rasa takut yang merasukinya, yang
ada ia malah penasaran dengan suara itu. Nova menajamkan pendengarannya, layaknya
seorang agen mata-mata. Nova mengendap-ngendap di dinding menuju ruang ganti
pemain.
“Hah...hah...hah..” kali ini, suara rintihan itu
berganti dengan suara napas yang tidak beraturan. Nova semakin yakin, suara itu
berasal dari dalam ruang ganti pemain. Sepelan mungkin, Nova masuk ke dalam
ruangan tersebut. Alangkah terkejutnya dia melihat pemandangan di depannya.
“Alvin?”
“Hah..o..obat..gue..to...long..” Nova meletakkan
buku-buku di pegangannya secara asal. Kemudian ia langsung mulai mengobrak-abrik
tas Alvin, mencari obat yang Alvin maksud. Nova langsung mengangsurkan sebutir
pil dan sebotol air mineral untuk Alvin.
“Thanks..” ujar Alvin lemah sambil berusaha tersenyum.
Ia mencoba bersandar di dinding. Wajahnya yang putih nampak memerah, keringat
membasahi tubuhnya. Napasnya masih terdengar terengah-engah.
Sementara Nova masih bersimpuh di samping Alvin.
Tangannya memegang botol obat yang tadi ia temukan dalam tas Alvin. Dalam diam
ia mengamati obat tersebut. Nova mengenal betul obat ini. Obat yang selalu ada
di ruang kerja kakaknya.
“Elo?” tanya Nova dengan nada tak percaya.
“Ya. Dan tolong jangan bilang ini ke siapapun.” Alvin
tersenyum lagi ke arah Nova. Nova memandangnya bingung. Ia tampak santai. Sangat
kontras dengan keadaannya beberapa menit yang lalu.
“Bukan urusan gue juga sih.” jawab Nova cuek.
“Gue anterin pulang yuk.” tawar Alvin sambil
membereskan tasnya yang isinya baru saja Nova keluarkan semua.
“Enggak usah gue bisa sendiri” alvin menatap nova
sekilas.
“Tenang aja, gue
masih bisa bawa motor gue kok. Mau ya, sebagai ucapan terimakasih dari gue nih”
nova menimbang-nimbang sebentar, ia melirik jam tangannya, sudah pukul 5 sore.
Nova mengangguk ke arah alvin, kemudian ia berdiri, tapi tiba-tiba tangannya di
tarik oleh alvin.
“Apa lagi ?”
tanya nova, matanya dan mata alvin saling bertemu.
“Itu obat gue,
tanpa itu gue enggak bisa hidup nov..hehe..” nova melihat botol potih yang
masih ada dalam genggaman tangannya itu. Dengan sedikit senyum, ia
menyerahkannya ke alvin.
“Lo tahu,
senyum lo akan kelihatan lebih tulus kalo ditambahin dikit lagi.” bisik alvin
sambil lagi-lagi tersenyum ke arahnya. Nova hanya diam tanpa ekspresi. Meski
kata-kata tadi terdengar lembut di telinganya.
***
Kamar itu
begitu hening seperti biasa. Hanya ada sedikit suara. Dari pertemuan antara
pulpen dan kertas yang sedang beradu sejak tadi. Nova diam sejenak. Dia
meletakkan pulpennya. Entah kenapa malam ini, ia jadi kepikiran soal Alvin
tadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika temannya yang begitu aktif dan ramah
itu menyimpan sebuah rahasia besar dalam hidupnya.
Dagunya ia
tumpukkan di kedua tangannya yang saling bertindihan di atas meja belajarnya.
Nova telah mengenal Alvin sejak mereka sama-sama sekelas waktu kelas sepuluh
dan terus berlanjut hingga sekarang. Di matanya Alvin adalah sosok yang ramah
dan murah senyum. Penampilannya yang selalu rapi di tunjang dengan wajahnya
yang tampan membuat ia di kagumi oleh hampir seluruh anak perempuan di
sekolahnya. Otaknya cerdas dan menjadi pesaing utamanya dalam memperebutkan
ranking pertama. Belum lagi prestasinya dalam bidang olahraga. Bersama partner
sekaligus sahabatnya. Rio, ia selalu berhasil memimpin rekan-rekan setimnya
untuknya menjuarai berbagai lomba futsal yang mereka ikuti.
“Anak seaktif
dan seramah dia ternyata....”
“Aduh Nova lo
kenapa jadi mikirin dia sih?! Lupain lupain ayo sekarang belajar lagi!” Nova
memukul-mukul kepalanya sendiri pelan. Kemudian melanjutkan pekerjaannya yang
tadi terhenti.
***
Dengan langkah
gontai, Alvin berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Seperti biasanya, ia tetap
tersenyum ramah kepada siapapun yang ia
jumpai. Entah itu dokter, suster atau pasien. Bahkan tak peduli ia kenal
ataupun tidak. Senyum itu tetap menghiasi wajahnya. Meski hatinya sedang kalut
luar biasa.
Langkahnya
terhenti di depan taman rumah sakit. Matanya menatap lurus ke arah sosok yang
dikenalnya. Sambil tersenyum, Alvin menghampiri orang itu yang nampak sedang
serius dengan buku di tangannya.
“Hai Nov, gue
duduk disini ya.” sapa Alvin riang. Nova mengangkat wajahnya, kemudian ia hanya
mengangguk.
“Ngapain
disini?” tanya Alvin basa-basi. Tapi tidak ada satupun respon dari Nova. Alvin
hanya tersenyum. Ia mengamati Nova yang
dimana saja selalu setia bersama buku-bukunya.
“Gue kagum deh
sama lo. Setiap hari selalu baca buku enggak pernah bosen. Good job!” celoteh
Alvin, meski ia tahu Nova tidak akan menggubrisnya sama sekali.
Karena itulah Nova,
sosok anak jenius yang memakai kaca mata dan selalu membawa buku kemanapun ia
pergi. Pendiam dan jutek. Pembawaannya cenderung tertutup. Jarang tersenyum
apalagi tertawa.
“Maaf Nov, udah
nunggu lama ya? lho Alvin?”
“Dokter Rizky?”
“Kamu kenal
sama Nova?”
“Iya, saya
temen sekelasnya dok.”
“Saya kakaknya
Nova.” Alvin hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ya udah ayo
katanya mau makan siang.” ujar Nova tiba-tiba. Sambil berdiri dan berjalan.
“Kamu udah
makan Vin? kalo belum ayo ikut kita aja.” tawar dokter Rizky.
“Eh enggak usah
dok makasih. Saya... ehm..itu..” Alvin kelabakan sendiri nyari alasan apa.
“Udah ayo, saya
tahu kamu enggak punya alasan buat nolak.” Alvin cuma nyengir. Kemudian ia
bersama Rizky. Menyusul Nova yang telah berjalan cepat menuju parkiran.
“Udah lama Vin
kenal Nova?”
“Iya dok, kita
sekelas dari kelas sepuluh dulu.” jelas Alvin. Sementara Nova memilih diam
menikmati makanannya.
“Oh, Nova
jarang cerita sih, saya malah cuma kenal temennya yang namanya Ify.”
“Iya. Nova
memang sahabatan sama Ify, kebetulan Ify itu pacarnya sahabat saya. Hehehe.”
“Toilet.”
celetuk Nova sambil berlalu begitu saja.
“Maaf ya Vin, Nova
memang seperti itu, tertutup.”
“Enggak apa-apa
dok, saya tahu kok. Saya enggak nyangka lho, dokter sama nova kakak adek, beda
sih.” dokter Rizky hanya tertawa mendengar kata-kata Alvin.
“Saya sama dia
beda sepuluh tahun. Itu sebabnya walaupun saya sayang banget sama dia, susah
buat ngeleburin jarak yang ada, apalagi semenjak...”
“Semenjak apa
dok?” Alvin penasaran.
“Kedua orang
tua kami meninggal.” Alvin tersentak.
“Maaf dok, saya
enggak tahu, maaf.” ujar Alvin tulus, dokter Rizky hanya tersenyum.
“No problem. Dulu
nova gadis yang riang bahkan cenderung manja, tapi semenjak saat itu dia
tenggelam di balik bukunya. Saya aja sampai bingung sendiri mau ngedeketin dia
dari mana. Seandainya ada orang yang bisa merubah dia lagi kaya dulu. Saya
seneng banget deh.” entah kenapa, kalimat terakhir yang dokter Rizky katakan. Begitu
merasuk kuat di dalam hati Alvin. Kata-kata itu bagai memanggilnya.
***
Belum pernah
terjadi sebelumnya. Hari ini seorang Nova, mau menemani Ify untuk menyaksikan
latihan futsal. Meski di tangannya tetap ada buku. Tapi, diam-diam tanpa
sepengetahuan Ify Nova terus mencuri pandang ke arah Alvin. Satu hal yang
membuatnya bingung sendiri.
‘Lo ngeliatin
dia karena cuma lo yang tahu keadaannya dia. Cuma karena itu nova.’ batinnya
seolah-olah berusaha menenangkan hatinya yang sibuk bertanya-tanya.
Nova bisa
melihat Alvin yang terus berlari. Tanpa beban. Bebas, dan penuh keyakinan.
Sempat membuat Nova sangsi. Apakah keadaan Alvin yang ia ketahui hanya kedok
belaka? Tapi, lantas pikiran itu ia buang jauh-jauh. Setiap habis melakukan
tendangan atau assist, Alvin akan menoleh ke arah penggemarnya dan tersenyum. Yang tentu saja langsung membuat kehebohan
yang tak terkira di lapangan.
“Lo ngeliatin
apa sih Nov?” tanya Ify curiga.
“Buku.” jawab
Nova asal. Sambil kembali menekuni bukunya. Ify memandang Nova penuh selidik.
Entah hanya perasaannya saja atau memang benar adanya, tadi ia merasa Nova
sedang memperhatikan Alvin. Tidak mau ambil pusing, Ify kembali memfokuskan
perhatiannya untuk Rio.
***
Entahlah apa
yang membuat mereka bisa duduk berdua sekarang. Alasan pertama yang paling
logis tentu saja, karena mereka berdua satu kelompok dalam pembuatan karya
ilmiah. Tapi, alasan-alasan lainnya cukup membuat Nova tidak mengerti. Karena,
ini pertama kalinya ia menyetujui untuk membuat tugas kelompok bersama-sama. Sebelumnya,
Nova selalu mengerjakan tugas itu sendiri. Meski judulnya tugas kelompok.
Dan sekarang
mereka duduk di halaman belakang rumah Nova, hening. Di awal Alvin sempat
mencoba menyairkan suasana. Tapi, karena
Nova yang terus sibuk dengan laptop dan buku-bukunya. Kini Alvin juga ikut
tenggelam mengerjakan bagiannya. Dan lagi-lagi entah mengapa, Nova merasa
sedikit menyesal dengan sikapnya tadi.
“Beep..beep..beep..”
Nova celingukan mencari asal suara yang membuat Alvin tersenyum dan menunjukkan
jam tangannya yang menyala. Alvin meraih tasnya dan mengeluarkan botol obatnya,
lalu ia langsung meminum obatnya tersebut.
“Sori kalo
bikin kaget, gue suka lupa kalo enggak kaya gitu.” ujar Alvin.
“Gue malah mikir
elo lupa kalo lo lagi sakit.” Alvin terkekeh mendengar kata-kata Nova.
“Kenapa?”
“Ya, elo selalu
bersemangat setiap hari, dan saat main futsal, itu jelas-jelas ngebahayain
kondisi lo.”
“Lo mau tahu
kenapa?” Nova hanya berekspresi datar tanpa respon.
“Karena gue
tahu, hidup gue mungkin akan jauh lebih singkat dari temen-temen gue, jadi
daripada gue ngeratapin nasib ya mending gue nikmatin akhir-akhir hidup gue.” Alvin
melanjutkan menjawab pertanyaannya sendiri. Meski Nova tidak memintanya. Nova
terdiam sesaat mendengar kata-kata alvin, entah kenapa kata-kata itu seperti
menyentil batinnya.
“Oh ya lo masih
nyimpen rahasia ini sendiri kan?” tanya Alvin lagi. Nova hanya mengangguk.
“Good job!
thanks ya Nov.” Nova bisa melihat jelas ketulusan terpancar dari kata-kata Alvin.
Ia mengalihkan matanya ke Alvin. Alvin yang sadar sedang lagi dipehatikan juga
melihat ke arah Nova. Sehingga mereka saling bertatap-tatapan sekarang.
“Eh sori.” ucap
Alvin langsung. Nova hanya menundukkan kepalanya. Ia terbawa suasana barusan,
suasana nyaman dan hangat dari mata Alvin.
“Enggak apa-apa.”
sahut Nova sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Lo minus nov?”
Nova menggeleng.
“Plus?”
lagi-lagi Nova menggeleng.
“Oh silindris
ya?” tebak Alvin mantap.
“Enggak juga
kok.” Alvin memandang ke arah Nova kaget.
“Terus ngapain
pake kacamata kalo gitu?”
“Pengen aja.”
“Haha. gue suka
gaya lo.” Alvin malah memuji Nova sambil memberi bonus senyuman. Nova lagi-lagi
dibuat spechless. Dia udah mikir kalo Alvin akan mentertawakan jawabannya yang
asal tapi asli tersebut. Alvin memang berbeda.
“Gue pengen
bisa ramah kaya lo.” ujar Nova tiba-tiba. Ia sendiri kaget, kata-kata itu
meluncur tanpa kendali dari bibirnya. Alvin menghadap ke arahnya, sambil
tersenyum.
“Gampang nov. Lo
tinggal senyum setulus mungkin dari dalem sini.” Alvin menunjuk dadanya.
“Gue lupa
caranya senyum sejak...”
“Iya gue tahu. Kakak
lo udah sempet ceritain itu.” potong Alvin cepat.
“Gue kangen
mereka.” Nova menunduk sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Setitik air mata
menetes membasahi wajahnya. Dengan tangannya, Alvin menyentuh dagu Nova,
membuatnya terangkat.
Pelan-pelan
Alvin melepas kacamata Nova dan dengan ujung-ujung jempolnya, ia menghapus air
mata Nova. Mata bening yang selalu tersembunyi di balik kacamata itu
benar-benar terlihat sekarang. Membuat Alvin terpana sesaat.
“Nov. Sekarang
coba deh lo bayangin orang tua lo lagi ngelihatin elo sambil tersenyum
bahagia.” Nova memejamkan kedua matanya mencoba membayangkan apa yang Alvin katakan.
“Nah sekarang,
buka mata lo dan balas senyuman mereka dengan senyum yang paling cantik yang lo
punya.” perlahan Nova membuka kedua matanya, kedua sudut bibirnya ia tarik
membentuk sebuah senyuman, sesuatu yang tidak pernah lagi ia lakukan akhir-akhir
ini.
“Lo tahu, mata
bening lo lebih indah tanpa hiasan bingkai kaca mata di sekelilingnya, dan
senyuman lo bakal bikin siapapun terpesona melihatnya.” ujar Alvin yang membuat
Nova tersipu. Tapi mungkin Alvin benar. Karena saat ini, saat senyumnya hadir
hatinyapun merasa bahagia.
“Jadi mulai
sekarang, lo harus sering-sering senyum ya.” Alvin mengacak-acak rambut Nova.
Nova hanya diam, tapi kali ini diamnya berbeda. Ada senyum manis di bibirnya
yang menyatakan segalanya.
***
Sudah lama
mereka tidak pernah berdua lagi seperti ini. Tepatnya sejak Rio jadian dengan
Ify. Tapi Alvin maklum akan hal itu. Toh akhir-akhir ini, dia juga sering menghabiskan
waktunya bersama Nova.
“Gimana lo sama
Ify ?”
“Gitu deh,
tambah hari tambah sayang aja gue sama dia” Alvin hanya terkekeh mendengar itu.
Kemudian ia mengambil majalah Rio yang ada di atas kasur, dan mulai membacanya.
“Lo sendiri
gimana sama Nova?” tanya Rio tiba-tiba
“Gimana apanya?”
“Ya
hubungannyalah, lo lagi PDKT sama dia kan?” tanya Rio yakin.
“Sok tahu lo!”
“Lho emang
enggak? Eh tapi gue suka deh sama penampilannya akhir-akhir ini, jadi ramah
gitu, terus kaca matanya juga di lepas, jadi kesan cupunya hilang deh.”
“Plak!” Alvin
mengulung majalah Rio dan memukulkannya di kepala Rio.
“Sakit woi! Kenapa
lo? Jealous?” goda Rio sambil menoel-noel dagu Alvin, yang membuat Alvin
bergidik.
“Inget Ify woi
kalo mau muji cewek lain.”
“Ify sih tetap
selalu akan di hati gue.”
“Gombal!” timpal Alvin.
“Udah-udah. Balik
nih ke Nova, lo beneran enggak suka sama dia?”
“Lha emang tadi
bilang enggak suka?”
“Jadi lo suka kan
sama dia?”
“Enggak tahu.” Rio
bener-bener di buat gondok sama jawaban Alvin yang muter-muter. Tapi, apalah
daya. Dia tahu, Alvin memang enggak suka di paksa. Kalo dia mau cerita ya pasti
bakal cerita sendiri.
‘seandainya gue punya
waktu buat suka sama dia Yo’ ratap Alvin dalam hati kecilnya.
“Eh vin.”
“Apa lagi?”
“Muka lo tambah
pucet akhir-akhir ini, lo sakit?”
“Enggak.”
“Yakin?”
“Iyalah, kenapa sih?”
“Enggak tahu,
feeling gue beda aja gitu.” ujar Rio sambil cengengesan. Alvin juga ikut
tersenyum. Tapi matanya menatap sahabatnya itu lirih.
***
Tangan kanannya
terkepal kuat, sampai otot-ototnya ikut menonjol. Sementara tangan kirinya
memegang dadanya sesak. Nafasnya tersengal-sengal. Alvin mencoba bangkit, tapi
sia-sia. Badannya langsung merosot ke lantai.
“Alvin!” panggil
Nova panik. Alvin hanya tersenyum. Nova langsung menjejalkan sebutir pil ke
dalam mulut alvin. Tapi tidak seperti biasanya, obat itu sepertinya tidak
langsung berkerja. Alvin masih terlihat menahan rasa sakit di tubuhnya.
Nova meraih tangan
kanan Alvin yang terasa dingin. Dia menggenggam tangan itu erat. Lagi-lagi di
kondisi seperti inipun, Alvin masih saja tersenyum ke arahnya. Yang malah
membuat dua butir air mata nova menetes perlahan.
“Ja..ngan..nangis..”
ujar Alvin terbata-bata. Ia seperti ingin mengangkat tangannya untuk menghapus
air mata Nova. Tapi, sepertinya rasa sakit itu telah merampas seluruh energi Alvin.
Nova yang menyadari itu, menghapus air matanya sendiri dan tersenyum ke arah Alvin.
Perlahan, keadaan Alvin
mulai membaik. Senyumnya lebih terlihat nyata sekarang. Dia menegakkan
duduknya. Nova sendiri merasa lega bukan main, ia tidak mau kehilangan Alvin.
“Elo enggak boleh
ikut pertandingan besok vin!”
“Enggak bisa Nov,
besok itu pertandingan yang udah gue tunggu-tunggu.”
“Elo sadar dong Vin
sama keadaan lo! please.” Nova memohon berharap Alvin akan luluh. Jauh di lubuk
hatinya, Alvin tidak tega melihat Nova seperti ini, tapi ini mungkin akan
menjadi pertandingan terakhirnya.
“Tolong lo yang
ngertiin posisi gue Nov.”
“Alvin! gue cuma
minta lo enggak main besok. Apa sih pentingnya futsal? Hah!”
“Lo kenapa sih nov?
Kenapa lo jadi marah-marah sama gue gini? lagipula lo siapa marah-marah sama
gu!”
Nova diam. Belum
pernah ia melihat Alvin seperti ini. sadarkah Alvin dengan semua kata yang ia
ucapkan tadi, sadarkah itu sangat menyakiti hatinya.
“Maaf, gue emang
bukan siapa-siapa, gue cuma orang asing yang peduli sama lo karena gue sayang
sama lo!” nova langsung berlari meninggalkan Alvin sendiri. Alvin cukup kaget
dengan kata-kata Nova, dia memandangi punggung Nova.
‘mungkin emang
lebih baik kita enggak pernah kenal sebelumnya’ bisik Alvin dalam hati.
***
Pantulan kaca
jedela memperlihatkan matanya yang sayu dan sembab karena menangis semalaman.
Dia melirik ke arah jam dindingnya. Jam 9 pagi. Pertandingan Alvin baru saja di
mulai. Ingin rasanya ia datang. Tapi, mengingat kata-kata Alvin kemarin,
sepertinya hanya terus menambah luka hatinya.
“Hei Nov, kakak
bawa makanan nih.” Nova hanya tersenyum sekilas sambil menghampiri Rizky.
Tiba-tiba dia jadi teringat satu hal.
“Kak.”
“Ya?”
“Kemarin Alvin
kambuh dan obatnya enggak langsung berkerja kaya biasa.” kakaknya langsung
menatap Nova tajam.
“Sekarang dia
dimana?”
“Lagi main futsal.”
“Anak itu ya
bener-bener deh! ayo nov anterin kakak ke tempatnya sekarang juga.” Rizky langsung
mengambil kunci mobilnya. Nova yang bingung hanya bisa pasrah. Dia menyambar
jaketnya yang ada di kursi dan langsung ngekorin kakaknya.
Mereka berdua
berlarian tergesa-gesa dari parkiran ke arah lapangan. Perasaan tidak enak
langsung menyergap nova saat ia melihat ramai-ramai di tengah lapangan. Dia
langsung menghampiri kerumunan itu, dan tubuhnya langsung jatuh lemas.
“Gotong anak ini ke
mobil saya, dia harus ke rumah sakit sekarang!” Rizky yang berdiri di belakang
Nova, langsung memberi komando. meski
bingung, Rio dan teman-temannya tetap mengangkat Alvin menuju mobil Rizky.
***
Dalam pelukan Ify,
Nova terus-terusan menangis. Rio mondar-mandir cemas di hadapannya, dia tidak
menyangka sahabatnya tega merahasiakan ini darinya. Setelah bertahun-tahun usia
pertemanan mereka. Kata-kata Rizky selama dalam perjalanan, serasa bagai kaset
otomatis yang terus berputar di otak Nova.
“Kondisi
jantungnya benar-benar sudah terlalu lemah. Harapan hidupnya terlalu kecil.
Padahal kakak udah selalu ngingetin dia kalo obat itu udah enggak bereaksi
apa-apa sama penyakitnya. Berarti itu saatnya dia untuk melupakan segala
aktifitasnya. Kakak enggak nyangka dia akan senekat ini, padahal biasanya dia
penuh perhitungan.”
“Nov.” panggil Rizky
pelan sambil berjongkok di hadapan Nova.
“Gimana kak? gimana
operasinya?” tanya Ify langsung.
“Kondisinya udah
enggak memungkinkan untuk di operasi, dia pengen ketemu sama kamu.” semua yang
ada di situ. Terutama Nova dan Rio. Merasa sangat terguncang mendengar kabar
ini. Nova berusaha berdiri. Meski badannya agak limbung, dengan sedikit
terseok-seok ia memasuki ruangan dimana Alvin berada.
“Apa orangtuanya
masih belum datang?” tanya Rizky ke Rio yang sekarang tampak duduk di samping Ify.
“Belum, orang
tuanya tinggal di Bandung, dia tinggal sendiri disini. Jadi, orang tuanya masih
dalam perjalanan.” ujar Rio getir. Ify berusaha menenangkan Rio dengan
membiarkan Rio bersandar di pundaknya.
Dokter Rizky hanya
tersenyum tipis. Dari kaca yang ada di pintu, ia memandangi Nova dan Alvin.
Sambil berusaha
terus tersenyum, Nova duduk di samping tempat tidur alvin. Dan seperti biasa, Alvin
tetap tersenyum tak menghiraukan selang-selang yang menempel di tubuhnya dan
masker oksigen yang menutup hidung dan mulutnya.
Bibir Alvin
bergerak-gerak, Nova melepas masker oksigen yang menghalanginya. Tangan Alvin
yang nova genggam sedikit bergerak juga.
“Apa?” tanya Nova
pelan.
“Ma..kasih..”
“Harusnya gue yang
bilang makasih, gue belum sempet bikin lo bahagia, belum bisa ngebales apa yang
lo kasih ke gue.”
“Elo..se..lalu..bikin..gue..baha..gia..”
dengan nafas tersengal-sengal. Alvin terus saja berbicara. Meski Nova telah
meletakkan telunjuknya di bibir merah Alvin yang kali ini tampak putih.
“Udah Vin udah”
“Nov..its a right
time..”
“Time to?” Nova
berusaha merangkai kata-kata Alvin yang mulai terasa tidak jelas.
“Time..to..declare...I
Love..You..”
Air mata langsung
membentuk sungai-sungai kecil di pipi Nova, Alvin tersenyum ke arahnya.
Senyumnya terlihat damai.
“I love you too.” bisik
Nova, tepat ketika tangan Alvin yang ia pegang melemas dan kedua mata Alvin
tertutup.
Nova mengecup
kening Alvin, kemudian tanpa mempedulikan garis panjang di layar sebelah tempat
tidur Alvin. Nova meletakkan kepalanya di atas dada Alvin. Meski sudah tidak
ada satupun detak yang terasa disana, tapi Nova tidak peduli.
“Aku mau nyanyi,
semoga kamu seneng.” desah Nova pelan
Belum sempat ku membagi kebahagiaanku
Belum sempat ku membuat dia tersenyum
Haruskah ku kehilangan tuk kesekian kali
Tuhan kumohon jangan lakukan itu
Sebab ku sayang dia
Sebab ku kasihi dia
Sebab ku tak rela
Tak selalu bersama
Ku rapuh tanpa dia
Seperti kehilangan harap
Jikalau memang harus ku alami duka
Kuatkan hati ini menerimanya